Pada pertengahan abad ke-16, Islam masuk ke Buton melalui pengaruh dari Ternate. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke-17. Pada masa itu, Sultan memiliki kekuasaan tertinggi di Kerajaan Buton.
Struktur kekuasaan di Kesultanan didukung oleh dua golongan bangsawan, yaitu Kaomu dan Walaka. Golongan Walaka bertanggung jawab atas adat dan pengawasan pemerintahan yang dijalankan oleh Sultan.
Sultan dipilih dan diangkat oleh golongan Walaka tetapi harus berasal dari golongan Kaomu. Untuk mempermudah pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut Kadie.
Agama Islam memiliki peran yang kuat dalam kesultanan ini, terutama unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut sebagai Murtabat Tujuh, yang merupakan istilah populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi, dan kedudukan perangkat kesultanan.
Kesultanan Buton juga memiliki mata uang sendiri yang disebut Kampua, yang digunakan sebagai alat tukar dalam aktivitas ekonomi. Kampua terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang, dan ditenun menjadi kain secara tradisional.
Pada tahun 1950, Kesultanan Buton diminta oleh Presiden Soekarno untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 15 Januari 1951, Kesultanan Buton berakhir setelah dilakukan demokratisasi terhadap anggota swapraja Buton.
Setelah itu, Buton menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Suseltra). Pada tahun 1960, Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi sebuah provinsi dengan ibu kota di Kendari.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait