KERAJAAN BUTON atau Kesultanan Buton yang berdiri sejak abad ke-12, sangat dihormati karena tidak pernah dikuasai oleh Belanda dan Portugis.
Kesultanan Buton merupakan salah satu kesultanan di Indonesia yang terletak di Kepulauan Buton, Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada masa lampau, wilayahnya mencakup seluruh Pulau Buton, termasuk sekarang Kabupaten Buton, Wakatobi, dan Kota Baubau.
Berdasarkan sejarahnya, Kesultanan ini awalnya adalah Kerajaan Buton yang berdiri sejak kedatangan orang-orang Melayu ke wilayah Buton pada akhir abad ke-13 M. Empat tokoh Melayu yang datang secara berbeda waktu adalah Sipanjongan, Sijawangkati, Simalui, dan Sitamanajo, masing-masing membawa pengikutnya.
Kesultanan Buton terletak di pulau yang strategis dengan jalur pelayaran yang menghubungkan pulau-pulau penghasil rempah di kawasan timur Nusantara.
Meskipun Belanda dan Portugis telah masuk ke Indonesia sejak abad ke-17, kedua bangsa Eropa tersebut tidak pernah berani menjajah Kesultanan Buton. Sebaliknya, Kesultanan Buton dijadikan tempat singgah karena posisinya yang strategis. Belanda dan Portugis menjalin hubungan baik dengan kesultanan ini untuk mendapatkan rempah-rempah.
Kesultanan Buton membangun benteng pertahanan yang kini menjadi benteng terluas di dunia, dibangun pada tahun 1634 pada masa pemerintahan Sultan La Buke, dengan panjang 2.740 meter.
Benteng ini dirancang untuk melindungi wilayah seluas 401.900 meter persegi dan dilengkapi dengan 16 bastion atau menara pengintai dan 12 pintu gerbang. Kesultanan Buton juga menjalin hubungan baik dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie).
Pada tahun 1637, hubungan dekat antara Kesultanan Buton dan VOC berakhir, dan terjadi perang. Namun, benteng Kesultanan Buton terbukti terlalu kuat bagi VOC sehingga tidak bisa ditaklukkan.
Perang berlanjut pada tahun 1752, 1755, dan 1776 karena VOC melakukan praktik tidak jujur dalam perdagangan rempah-rempah. Namun, di bawah pimpinan Sultan La Karambau, Buton berhasil mengatasi Belanda.
Eksistensi Kesultanan Buton tercatat dalam naskah kuno Negara Kertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca pada tahun 1365 M. Negeri Buton disebut sebagai Butuni dalam naskah tersebut, dan rajanya bergelar Yang Mulia Mahaguru. Nama "Butuni" kemudian diubah oleh orang Bugis menjadi "Butung" dan oleh Belanda menjadi "Buton".
Pada pertengahan abad ke-16, Islam masuk ke Buton melalui pengaruh dari Ternate. Setelah Raja Lakilaponto masuk Islam, kerajaan Buton semakin berkembang dan mencapai masa kejayaan pada abad ke-17. Pada masa itu, Sultan memiliki kekuasaan tertinggi di Kerajaan Buton.
Struktur kekuasaan di Kesultanan didukung oleh dua golongan bangsawan, yaitu Kaomu dan Walaka. Golongan Walaka bertanggung jawab atas adat dan pengawasan pemerintahan yang dijalankan oleh Sultan.
Sultan dipilih dan diangkat oleh golongan Walaka tetapi harus berasal dari golongan Kaomu. Untuk mempermudah pemerintahan, Buton menjalankan sistem desentralisasi dengan membentuk 72 wilayah kecil yang disebut Kadie.
Agama Islam memiliki peran yang kuat dalam kesultanan ini, terutama unsur-unsur sufistik. Undang-undang Kerajaan Buton disebut sebagai Murtabat Tujuh, yang merupakan istilah populer dalam tasawuf. Undang-undang ini mengatur tugas, fungsi, dan kedudukan perangkat kesultanan.
Kesultanan Buton juga memiliki mata uang sendiri yang disebut Kampua, yang digunakan sebagai alat tukar dalam aktivitas ekonomi. Kampua terbuat dari kapas, dipintal menjadi benang, dan ditenun menjadi kain secara tradisional.
Pada tahun 1950, Kesultanan Buton diminta oleh Presiden Soekarno untuk menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pada 15 Januari 1951, Kesultanan Buton berakhir setelah dilakukan demokratisasi terhadap anggota swapraja Buton.
Setelah itu, Buton menjadi bagian dari Provinsi Sulawesi Selatan-Tenggara (Suseltra). Pada tahun 1960, Sulawesi Tenggara dimekarkan menjadi sebuah provinsi dengan ibu kota di Kendari.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta