KOLOM OPINI, Sangtorayaan - Mentuyo (bunuh diri) yang dilakukan oleh anak-anak milenial Toraja di masa pandemi Corona virus disease 2019 (Covid-19), yang dalam bahasa Toraja dikenal dengan wabah covid sangpulo kasera adalah peristiwa sosial yang menggegerkan publik. Anak anak milenial ini melakukan mentuyo secara masif sejak awal pandemi di tahun 2020. Fenomena mentuyo 30 anak-anak milenial Toraja dengan cara gantung diri ini terjadi di Kabupaten Toraja Utara sebanyak 16 kasus dan di Kabupaten Tana Toraja 14 kasus.
Tindakan mentuyo semakin mengkhawatirkan karena sebarannya hampir merata di seluruh kecamatan di Toraja sehingga menimbulkan spekulasi bahwa mentuyo memiliki dampak penularan (contagion effect) yang berantai. Kekhawatiran ini sangat beralasan karena peristiwa mentuyo sangat cepat menyebar di linimasa. Postingan berupa foto pelaku, dugaan mengenai motif melakukan bunuh diri dan cara yang digunakan di upload di berbagai platform media sosial seperti facebook, instagram dan twitter.
Terdapat urgensi yang sangat mendesak agar semua pihak segera melakukan langkah-langkah bersama agar tindakan mentuyo ini dapat dihentikan. Penggunaan internet bagi milenial sudah menjadi seperti adiksi media sosial yaitu perhatian yang berlebihan terhadap media sosial yang dirasakan individu sehingga mendorong individu tersebut untuk menggunakannya secara berkepanjangan, dan mengganggu berbagai aktivitas sosial lain seperti studi, pekerjaan, hubungan sosial, kesehatan mental, dan kesejahteraan psikologisnya.
Ada berbagai alasan kenapa anak anak milenial bermain media sosial, anatara lain: mempermudah pertemanan awal silaturahim dengan orang yang dicintai, nonton video, melihat gambar, membaca konten- konten yang menarik dan lucu atau sekadar menghabiskan waktu untuk menggali informasi. Meski memberikan banyak manfaat, penggunaan media sosial setiap hari juga bisa memberikan dampak buruk terhadap interaksi sosial seorang individu dengan masyarakat. Kecanduan penggunaan internet tak dapat dihindari seiring dengan percepatan informasi dan komunikasi serta perkembangan teknologi kekinian yang begitu cepat.
Peristiwa mentuyo di Toraja menjadi ironis karena dilakukan oleh generasi milenial yang seharusnya berpikir cerdas dan bertindak inovatif tentang arti kehidupan. Karakteristik milenial berbeda-beda berdasarkan wilayah dan kondisi sosial-ekonomi. Namun, generasi ini umumnya ditandai oleh peningkatan penggunaan dan keakraban dengan komunikasi, media sosial, dan teknologi digital. Namun bagi milenial Toraja juga mereka hidup di era disruptif yaitu era perubahan tatanan yang sangat cepat karena pengaruh teknologi revolusi industri 4.0. Disrupsi adalah sebuah era terjadinya inovasi dan perubahan besar besaran yang secara fundamental telah mengubah semua sistem, tatanan, dan landscape yang ada ke cara-cara baru.
Problematika tersebut merupakan bencana sosial yang terjadi di masa pandemi Covid-19, dimana sebanyak 30 warga Toraja meninggal dunia akibat mentuyo, menurut catatan Polres Tana Toraja dan Polres Toraja Utara. Bahkan peristiwa mentuyo terjadi secara masif dimana kejadiannya hampir merata di setiap kecamatan dan berturut-turut setiap bulan. Kejadian ini menggemparkan seluruh penjuru Bumi Lakipadada. Masyarakat geger dan panik yang kemudian terpapar oleh pemberitaan heboh di media sosial. Peristiwa ini terjadi secara sporadis bagai jamur yang tumbuh di waktu hujan. Angka kasus mentuyo di Toraja terbilang tinggi pada tahun 2020 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.
Kasus mentuyo tertinggi di Toraja pada masa pandemi Covid-19 sontak mengubah semua tatanan kehidupan sosial baru, sehingga individu cenderung berpikir pendek untuk mengakhiri hidup dengan jalan mentoke’ (gantung diri). Kejadian ini sangat mengkhawatirkan semua pihak, karena jangan-jangan anak- anak milenial Toraja ikut-ikutan mentuyo, semacam penyakit menular. Berpengaruh terhadap aspek utama dalam kehidupan manusia yakni psikologi sosial, dimana individu merasagalau, takut tertular atau menulari orang lain. Kemudian, stay at home, bekerja dan belajar di rumah, ini membatasi interaksi sosial masyarakat. Dalam masyarakat yang kehidupan sosialnya terbuka, adaptasi pola kehidupan baru ini membuat resah dan gelisah.
Individu tidak bisa lagi pergi bekerja, belajar di sekolah, berkumpul di gereja, tidak ada upacara/pesta rambu solo’ dan rambu tuka’, dan mengikuti kegiatan-kegiatan organisasi kepemudaan. Kondisi ini membuat idividu dan kelompok menjadi jenuh, bosan, putus asa, dan hidup dalam ketidakpastian. Dampak sosial yang terutama adalah ekonomi, adanya gelombang pemutusan hubungan kerja, pengangguran dan karyawan yang dirumahkan. Bagi masyarakat yang terbiasa dengan kehidupan ekonomi yang mapan, ketika berhadapan dengan situasi sulit karena krisis ekonomi akan berdampak besar pada perasaan sosial individu dan kelompok.
Bagaimana nilai-nilai spiritualitas itu diajarkan kepada anak-anak milenial toraja yang notabene adalah aktivis gereja. Mereka interaktif melakukan kegiatan-kegiatan kerohanian dan bakti sosial, bahkan mendedikasikan dirinya untuk berperan aktif dalam kegiatan rambu tuka maupun rambu solo’. Mereka yang memiliki keterbatasan kemampuan dalam menghadapi kejadian ini tak dapat menyesuaikan diri terhadap berbagai persoalannya sehingga rentan berpotensi menimbulkan berbagai gangguan perasaan sosial. Apalagi di masa pandemi Covid-19 yang tak kunjung surut dapat merupakan salah satu faktor pemicu munculnya berbagai gangguan mental individu.
Pemberitaan di media sosial menjadi salah satu variabel pemantik perilaku sosial ikut-ikutan untuk melakukan tindakan mentuyo dengan cara yang seragam yaitu mentoke’. Kasus mentuyo yang sering terjadi merupakan realitas sosial yang tak terhindarkan. Pemicunya boleh jadi karena hubungan percintaan yang gagal, himpitan ekonomi, kecanduan internet, besarnya tekanan arus-arus sosial pihak lain, serta merasa hidupnya sudah tidak berarti apa-apa. Sehingga berupaya mengakhiri hidupnya dengan cara-cara yang tidak wajar atau disengaja, perbuatan nekad seorang individu yang mengalami jalan buntu. Hubungan pacaran yang tidak sehat sering menjadi pemicu munculnya hambatan psikologis individu untuk melakukan adaptasi mental. Jika hal ini berlarut-larut, tidak kunjung selesai dan menjadi akut maka akan berpotensi mengarahkan yang bersangkutan mengakhiri hidup dengan carayang tidak dikehendaki.
“Bahkan secara ekstrim saya mengatakan bahwa bunuh diri dapat menjadi kebiasaan atau budaya baru bagi etnis Toraja, dimana bunuh diri dilakukan sebagai jalan pembebasan.”
Melepaskan penderitaan karena rasa sakit menahun, kecewa, putus asa, budaya malu (siri’), gagal dalam percintaan, tekanan sosial dan ekonomi, alasan adat budaya, dan ingin aktualisasi diri. Sangat berbahaya bagi anak-anak milenial mengartikan mentuyo menjadi sebuah trend dalam rangka aktualisasi diri untuk mempertontonkan bahwa dirinya seorang yang berjiwa kesatria atau pemberani (barani). Bisa saja menjadi pilihan rasional bagi anak-anak milenial jika hal ini tidak segera melakukan upaya pencegahan oleh semua komponen masyarakat yang sensitif terhadap gejala-gejala sosial yang melekat pada setiap individu tanpa terkecuali. Penyebab kasus mentuyo bersifat kompleks (multi factor) dan tidak tunggal artinya banyak pemicunya.
Keluarga adalah unit terkecil dalam dunia ini yang senantiasa menjadi rumah didik mental dan moral bagi anggotanya. Membangun hubungan harmonis antar anggota rumah tangga agar tidak mengalami disfungsi keluarga dimana orang tua memahami perasaan anak-anaknya, dan sebaliknya anak-anak menghormati ayah ibunya. Suami istri wajib saling menghargai serta hidup dalam suka maupun duka.
Pemerintah, tokoh agama, tokoh adat, pendidik, dan semua pihak, pemangku wewenang hingga lintas stakeholder harus turun tangan mensosialisasikan dampak mentuyo yang sudah mengkhawatirkan segenap masyarakat Toraja. Peran sosial sangat dibutuhkan dalam mengantisipasi kejadian-kejadian yang marak terjadi dikalangan generasi milineal. Dampak penggunaan media sosial melalui gadget menyebabkan individu melakukan hal yang sama terhadap kejadian sebelumnya yang dilakukan oleh teman-teman sebaya.
Masyarakat menyesalkan tindakan bunuh diri anak-anak milenial Toraja. Sangat disayangkan, kenapa harus terjadi pada anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah/kuliah mau melakukan tindakan mentuyo. Padahal, mereka adalah individu yang produktif dan kreatif sebagai sumber daya manusia Toraja yang diharapkan orang tua menjadi anak-anak yang takut Tuhan dan dapat berguna bagi gereja, masyarakat, dan daerahnya. Penyesalan juga datang dari pemerintah daerah, bagaimana penguatan lembaga kemasyarakatan tidak berfungsi dengan baik.
Hampir semua komunitas bangsa di seluruh dunia menempatkan bunuh diri pada posisi yang soliter dan tertutup. Ia merepresentasi ketabuan universal yang sangat jarang dibicarakan secara terbuka meski di kalangan anggota keluarga batih sekalipun. Karenanya, meski bunuh diri direncanakan oleh pelakunya, ia terkesan terjadi secara tiba-tiba, mengagetkan banyak orang dan meninggalkan duka mendalam bagi orang-orang yang dicintainya. Setelah peristiwa bunuh diri pun, tidak banyak yang dapat terungkap. Ia menjadi misteri sekaligus menjelma menjadi tragedi. Orang hanya mengira-ngira motivasi dibaliknya. Dari jutaan kasus bunuh diri, hanya beberapa pelaku yang meninggalkan catatan personal yang isinya hampir sama; ingin melepaskan diri dari beban hidup, kepedihan dan penderitaan. Ia ingin meraih pembebasan.
Bunuh diri adalah tindakan personal yang selama ribuan tahun menghantui peradaban manusia. Ia adalah potongan teka-teki yang akan tetap menjadi misteri kehidupan hingga akhir zaman. Tidak ada jawaban tunggal untuk menjelaskan mengapa manusia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara-cara tragis dan tak terduga. Banyak kajian psikologis, sosiologis dan kejiwaan yang berusaha mengungkap misteri dibalik fenomena bunuh diri. Akan tetapi, tak satupun memuaskan keingintahuan manusia akan jawaban mengapa manusia memilih bunuh diri sebagai solusi dari keputusasaan dan ketidakberdayaannya.
Salah satu karya klasik yang menganalisis tentang fenomena bunuh diri adalah “Le Suicide: Etude de sociologie” yang ditulis oleh sosiolog Perancis Emile Durkheim (1897). Buku ini merupakan kajian metodologis pertama tentang fakta sosial yang berhubungan dengan masyarakat. Durkheim percaya bahwa semakin tinggi tingkatan anomie, maka semakin besar peluang terjadinya bunuh diri. Menurutnya, terdapat empat tipe bunuh diri yang dipicu oleh ketidakseimbangan antara dua kekuatan sosial dalam masyarakat; integrasi sosial dan regulasi moral. Keempat tipe bunuh diri itu adalah bunuh diri egoistik, bunuh diri altruistik, bunuh diri anomik dan bunuh diri fatalistik. Durkheim kemudian menyimpulkan bahwa tingkat bunuh diri akan lebih tinggi: pada jenis kelamin laki-laki ketimbang perempuan, mereka yang masih bujang ketimbang yang memiliki pasangan, mereka yang tidak memiliki anak ketimbang yang memiliki anak, mereka yang protestan ketimbang yang menganut katolik, personil militer ketimbang masyarakat sipil, di masa damai ketimbang masa perang. Durkheim juga menyimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka semakin tinggi peluangnya untuk melakukan bunuh diri.
Meski sudah menjadi klasik, karya Durkheim masih sering dirujuk ketika berbicara mengenai bunuh diri, terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor lingkungan eksternal pelakunya, atau apa yang disebut sebagai fakta sosial. Durkheim telah membuktikan bahwa sosiologi sebagai disiplin ilmu mampu melakukan kajian atau analisis sebagaimana halnya yang dilakukan oleh ilmu-ilmu lainnya. Akan tetapi, kajian Durkheim merupakan analisis makro-objektif yang didasarkan pada data-data sekunder yang dikumpulkannya dari berbagai sumber.
Durkheim ingin membandingkan penyebab bunuh diri dari berbagai kategori seperti kristen protestan, katolik dan yahudi, jenis kelamin, status perkawinan, kelompok umur dan sebagainya. Di tengah kemajuan dan semakin kompleksnya dinamika sosial yang mengitarinya, manusia terkondisikan untuk bertahan hidup di tengah persaingan yang semakin ketat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Akan tetapi, simplifikasi Durkheim yang menekankan faktor “integrasi dan regulasi” sebagai pemicu utama bunuh diri telah menimbulkan kontroversi tentang korespondensi antara analisis data makro dan bunuh diri sebagai peristiwa mikro subjektif secara sosiologis.
Bunuh Diri Milenial Toraja
Fenomena mentuyo menggemparkan seluruh kabupaten di Toraja karena mayoritas pelakunya adalah anak-anak usia muda yang masuk golongan generasi milenial. Jumlahnya pun tidak main-main. Sekitar 24 anak-anak muda melakukan bunuh diri pada saat penelitian dilakukan. Modusnya pun seragam. Mereka menghilangkan nyawanya dengan cara gantung diri (mentoke). Hasil penelitian menemukan bahwa anak-anak milenial Tana Toraja melakukan mentuyo karena beberapa faktor.
Pertama, mereka melakukan mentuyo akibat merasa bosan dengan kehidupan, tidak dapat menahan penyakit yang diderita, kemurungan jiwa, merasa cemburu, dan kecewa karena hubungan percintaan yang tidak berjalan mulus. Kedua, mentuyo bagi orang Toraja bukanlah aib atau perbuatan dosa. Jasad pelaku mentuyo diperlakukan sama seperti kematian pada umumnya. Menurut ajaran Alu’ Todolo, status kematian karena mentuyo, karena sakit atau kecelakaan sama saja. Cara kematiannya saja yang berbeda. Tindakan mentuyo sangat kuat di pengaruhi oleh nilai-nilai budaya dan kepercayaan tradisional orang Toraja tentang kematian. Bagi suku Toraja, “mati adalah keberuntungan” - telah mengakhiri segala penderitaan – sekaligus sebagai awal dari sebuah kehidupan baru (life after life). Kematian adalah hidup itu sendiri. Suku Toraja memandang kematian sebagai proses perpindahan roh (jiwa) ke alam lain dalam perjalanan menuju syurga (puya).
Budaya Bunuh Diri
Akan tetapi, mereka tidak mempertentangkan antara kepercayaan Alu’ Todolo dengan ajaran iman kristiani. Perspektif yang berbeda itu sama sekali tidak menimbulkan ketegangan apalagi konflik antar keyakinan melainkan terjadi sinkretisme atau pembauran nilai yang justru saling menguatkan. Masyarakat Toraja telah menerima ajaran kristiani dalam waktu yang cukup lama dan menyandingkannya dengan nilai-nilai luhur dan kearifan lokal yang diwariskan dari kepercayaan Alu’ Todolo. Dalam meredakan “ketegangan” antara keyakinan Alu’ Todolo dengan ajaran kristiani dalam kasus bunuh diri, masyarakat Toraja melakukan liturgi keagamaan berupa penghiburan bagi keluarga yang dilayani oleh Pastor dan Pendeta dan Majelis Gereja Toraja. Secara adat, mendiang dipotongkan kerbau sebagai wujud dari sero pa’diki (membersihkan pedihnya hati).
Di masyarakat Toraja, Kerbau adalah hewan bernilai tinggi dan sakral sebagai simbol penghormatan terakhir. Kerbau diyakini menghantarkan roh menuju puya atau nirwana. Ritual ini berfungsi untuk melepaskan rintihan rasa sedih yang mendalam. Banyak keluarga dekat dan kerabat yang hadir untuk menyampaikan dukacita.
Motivasi Untuk Bunuh Diri
Hasil wawancara mendalam dari berbagai informan dan analisis dari catatan pribadi yang ditinggalkan pelaku bunuh diri, ditemukan satu hal yang sangat mecengangkan. Motivasi utama untuk bunuh diri adalah ingin mengakhiri penderitaan. Dengan bunuh diri pelaku berharap akan terlepas dari semua beban hidup yang dideritanya; merasa hidupnya tidak berguna karena hubungan asmara tidak direstui, malu karena menganggur, terisolir karena isolasi semasa pandemi, dan beban utang yang tidak bisa dilunasi. Melalui bunuh diri, pelaku meyakini akan meraih pembebasan.
Buku ini sangat bermanfaat untuk dibaca bagi anak-anak milenial, para orang tua, guru guru, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta aparat pemerintah dan pelaku bisnis. Bunuh diri, adalah fenomena sosial yang sangat kompleks. Diperlukan pemahaman komprehensif tentang nilai-nilai kultural, keagamaan dan pengaruh lingkungan eksternal untuk mencegah generasi mudah atau siapapun untuk menjadikan bunuh diri sebagai jalan terakhir untuk mengakhiri penderitaan atau beban hidup.
Di tengah pandemi Covid-19, beban hidup semakin sulit akibat lockdown, pembatasan kegiatan sosial dan bisnis, isolasi mandiri serta banyaknya keluarga yang meninggal dunia. Mereka meninggalkan isteri dan anak-anak yang masih membutuhkan perhatian dan kasih sayang orang tua. Mereka yang survive sekalipun harus berjuang menafkahi keluarga meski harus work from home, mengalami pemotongan jam kerja dan keharusan memberi pelayanan bagi essential workers di saat puncak pandemi.
Diperlukan sosialisasi, edukasi dan pemberian pemahaman kepada seluruh warga khusunya anak-anak muda bahwa hidup tidak selalu easy going. Tak seorang pun yang menjalani hidupnya tanpa rintangan dan cobaan. Olehnya itu, diperlukan kekuatan mental spiritual untuk bertahan hidup di tengah situasi yang terus berubah dan terus berusaha sekuat tenaga untuk bertahan dan menjalani hidup yang tidak selalu ramah.
Anak-anak muda juga harus didik bahwa mengalami putus cinta atau hubungan asmara yang tidak direstui oleh orang tua, sangatlah naif untuk dijadikan alasan untuk mengakhiri hidup. Hubungan percintaan diantara dua insan yang saling mengasihi tidak mesti harus berakhir di pelaminan. Begitu banyak kerugian materil dan immateril apabila semua kegagalan, penderitaan dan kepedihan harus diakhiri dengan mentuyo.
Meski kearifan budaya memberi ruang melalui definisi transendental tentang kematian yang hanya sebagai fase perjalanan menuju puya, bunuh diri harus diletakkan dalam porsinya yang pantas; sebagai tindakan anarkis yang tidak bertanggung jawab. Kalau tidak, mispersepsi yang berkembang tentang mentuyo akan sangat susah diluruskan dan masyarakat Toraja akan terus menerus mengalami peristiwa tragis-dramatis dimana sederetan generasi muda terbaiknya akan mengakhiri hidupnya dengan jalan mentuyo. Semoga buku ini akan membuka wawasan mengenai bunuh diri yang seharusnya bisa dicegah, diantisipasi dan dihindari.
Oleh : Dr. Kristian H. P. Lambe, S.T., M.M., M.Si
Editor : Jufri Tonapa